“Biar hidup hanya sesaat, namun kebaikan tetap harus
abadi” itulah sepotong kalimat yang paling diingat olehnya tatkala dia
disudutkan dengan situasi-situasi genting, kalimat indah itu tak lain dia
pungut dari seorang ojol tua dan seorang penjual ikan.
Semacam azimat penangkal kesialan, kalimat-kalimat
tersebut rutin dirapalnya beberapa kali ketika hendak memulai hari. Menjadi
seorang kuli panggul dari pasar ke pasar, barangkali tak pernah ia cita-citakan
selama hidupnya, namun apalah daya, takada satupun lowongan kerja yang cocok
dengan jenjang pendidikannya yang bahkan tak sampai lulus SMA, padahal di
sekitarnya gedung dan toko-toko menjulang dan dia hidup di negeri yang kaya.
Tapi entahlah, takada gunanya jika terus berkeluh kesah,
pikirnya, cuma buang-buang waktu, sedang perut jerit melulu, mending dia
kerjakan apa saja yang ada upahnya, menjajal jasa dari pasar ke pasar, sedari
mulai matahari belum benar terbit hingga terbenam total, dari suatu subuh
menuju magrib yang berkumandang.
Hidup memang serupa kadang-kadang baginya, kadang sedih
kadang senang, kadang lapar kadang kenyang. Sama kejadiannya seperti pagi ini,
belum ada satu pun hal yang dapat ia kerjakan, apalagi yang menghasilkan uang,
rasa putus asa semacam ini memang kerap jadi sahabat akrabnya seiring
berjalannya waktu, dan ia paham benar bahwa di dalam kesulitan yang lebih sulit
pasti ada titik temunya; cahaya.
“Sholeh”
begitu orang-orang memanggilnya, entah itu nama aslinya atau nama julukan,
lantaran bahasa orang-orang di pasar sama sekali berbeda dengan kehidupan
nyata, bahkan terkadang kontras, seperti ihwalnya kemarin ada seorang kuli
panggul yang dipanggil “Ah Cin” padahal tidak sedikitpun ia punya kekerabatan
dengan hal-hal yang berbau tiongkok itu, ia bukan orang Cina tentu saja. Logika
di pasar sepertinya memang berbanding terbalik dengan logika normal, buktinya
saja maling-maling di sini rendah hati, suka memberi dan tak pernah mencuri,
jika mencuri pun minta ijin terlebih dahulu kepada si empunya, baru jika
nantinya masalah berujung ruwet, mereka saling maaf memaafkan, tak seperti di
kehidupan nyata, maling-maling cengengesan di berbagai media.
Sudah sekitar tiga jam lebih ia berdiri di depan sebuah
ruko tua di pasar itu, namun tak jua ia temukan satupun orang yang ingin
dibantu denga jasanya, di toko kelontong koh Aceng juga takada hal yang bisa
dikerjakannya, toh biasanya juga jika ada truk barang yang mampir, selalu ia
yang pertama kali dipanggil oleh koh Aceng untuk sekadar bantu-bantu di sana,
hitung-hitung sedekah, koh Aceng juga sering menyuguhkannya sarapan, itupun
jika kebetulan koh Aceng lapar, namun hari ini berujung seperti biasa, dan akan
berakhir seperti sedia kala, di mana semua akan beruung dengan bunyi nan syahdu
dari perutnya yang keroncongan itu.
Samar-samar dari arah pasar seorang yang berwajah cukup
familiar baginya mulai mendekat, sedikit curiga, jangan-jangan orang tersebut
berniat jahat kepadanya, “Ah, apalah kemungkinan terburuk yang akan kudapat,
selain kematian” pikirnya, tapi semua sangkaan buruknya itu sirna, tatkala
sosok tersebut benar-benar nyata di depannya, memasang senyum sumbringah,
sembari berkata sebait kata asing yang jarang diucapkan para penghuni pasar.
“Jaka!”
Usut punya usut ternyata itu kawan lamanya, Surohman dia
punya nama, dan kabar burungnya dia itu dulunya mantan kriminal, tepatnya
konglomerat yang kena sial, kena tipu oleh seorang pejabat, hidupnya kini bisa
dikatakan sedikit agak melarat. Sedikit lupa lupa dengan dia, Jaka atau kita
terlebih dahulu mengenalnya sebagai Sholeh terus menutar otak untuk sekadar
mengingatnya, maklum pikirannya itu belum terlalu aktif berjalan lantaran belum
mungkin belum sarapan, ia hanya cengengesan saja sambil menjabat tangan kawan
lama yang sedang berusaha dia ingat itu.
“Nggak kerja Jak?” ujar Surohman, mencari posisi duduk
yang tepat.
“Belum nih, kagak ada mangsa hari ini,” ujar Sholeh yang
masih menerka.
“Ah, masih jadi kuli panggul toh?” Surohman mengeluarkan
sebungkus rokok, lalu menawarkannya kepada Sholeh.
“Huh! Tidak ada hal lain yang bisa kukerjakan di negeri
ini selain itu, Sur,” Sholeh mulai mengingat sahabat lamanya itu dengan jelas,
wajahnya sumbringah, tapi sedikit lesu, lantas diambilnya bungkusan rokok
tersebut dan menyalakannya barang sebatang.
Pembicaraan terus saja berlangsung seiring kepulan asap
rokok yang menguap menjadi udara, pembicaraan menjadi sedikit canggung
sebenarnya, banyak diamnya, dan Surohman paham betul apa yang sedang ada dalam
pikiran Sholeh, tatkala dia diajak bicara, kekhawatiran dan kelaparan yang
bercampur aduk barangkali adalah hal yang membuat suasana pembicaraan mereka
menjadi canggung pagi ini.
Merasa tak enak dengan keadaan canggung itu lantas
Surohman mengajak Sholeh ke warteg yang tak jauh dari tempat mereka itu,
katanya ada hal yang sangat penting yang ingin dia bicarakan, entah apa yang
ada dipikiran Sholeh, ia merasa kurang tertarik dengan ajakan kawan lamanya
itu, dan ia menolak tawaran makan gratis yang sangat langka itu, lantaran dia
sadar bahwa di dunia yang kejam seperti ini, umumnya setiap kebaikan itu pasti
akan dibuntuti oleh sesuatu maksud tertentu, namun Surohman bersikeras ingin
membicarakan hal yang penting dan rahasia itu kepada Sholeh, dan lagi pikirnya,
“Ah, apalah kemungkinan terburuk yang akan kudapat?” Lantas ia mengiyakan
ajakan kawan lamanya tersebut.
⸙⸙⸙
“APAA?” Sholeh terkejut mendengar hal penting yang
sedari tadi hendak dibicarakan oleh kawannya itu, seisi warteg mengalihkan
pandangannya ke meja mereka barang sejenak, lantas kembali pada keadaan semula,
Surohman menjelaskan maksud dari pembicaraannya itu lebih rinci.
“Bukan begitu maksudnya Jak, ini tidak seperti yang kau
pikirkan”
“Aku takingin berujung di bui, Sur!” Sholeh beranjak
pergi.
“Ini tak seperti yang kaubayangkan, Jak!”
Surohman berusaha menenangkan Sholeh yang hendak pergi lantaran
sudah naik darah itu, tak ia sangka reaksi dari kawan lamanya akan seperti iin,
dia membayangkan Sholeh akan semagat membahas hal yang satu ini, (ya, mengingat
mereka sama-sama sedang melarat) hingga ia tak perlu lagi menjelaskan punca
permasalahannya dari awal, namun ternyata semua dugaannya itu salah, Sholeh
adalah orang yang benar-benar baik dan tak punya otak kriminal semacam dirinya.
“Jadi begini, Jak, rumah yang akan kita rampok ini
adalah rumah seorang pejabat yang korup, dia kawanku dulunya ketika masih
menjadi anggota dewan, tapi lantaran kelicikannya, dia berhasil menjebloskanku
ke penjara.”
“Terus apa hubungannya denganku, Sur?” Sholeh semakin
menjadi-jadi marahnya, nada suaranya meninggi, dan sekali lagi, pandangan seisi
warteg menuju ke arah mereka barang sejenak, lalu kembali ke kebisingan semula.
“Iya, makanya kau dengar dulu! Pejabat yang akan kita
rampok rumahnya ini adalah pejabat yang korup, dia juga punya berbagai bisnis
gelap di luar kota, dan menjadi pejabat yang ramah hanya sebagai kedoknya agar
tak terdeteksi semua bisnis-bisnis gelapnya itu, Jak.” Surohman menjelaskan
dengan panjang lebar mengapa dia bersikeras hendak merampok rumah pejabat
tersebut.
“Dari mana kau tahu semua info ini, Sur?” Tanya Sholeh.
“Aku punya orang dalam” ucap Surohman dengan senyum
percaya diri.
Sholeh tak lekas percaya dengan semua hal yang baru saja
dia dengar itu, semua hal, bahkan jika hal tersebut memiliki bukti yang kuat,
fakta-fakta yang nyata, tetap saja ia tak lekas percaya, lantaran dia paham
dengan hal yang paling mendasar yang harus diketahui oleh orang bodoh adalah jangan
mudah percaya, semua kebenaran pasti ada celahnya.
Pembicaraan mereka berakhir tatkala Sholeh mengangguk,
dengan berat hati dia mengiyakan ajakan merampok dari kawan lamanya itu, tapi
untuk menyiapkan mentalnya Sholeh meminta waktu untuk berpikir selama beberapa
hari, juga untuk jaga-jaga jika dia berubah pikiran dan tak jadi ikut
perampokan.
Kini Sholeh pulang tak hanya dengan perut terisi
melainkan juga kepalanya yang penuh dengan tanda tanya, haruskah dia melakukan
hal serendah itu? Atau haruskah ia tetap tegak berdiri meski seiring
berjalannya waktu ia lenyap di antara gedung-gedung tinggi?
Pertanyaan-pertanyaan semacam itu tak henti-hentinya
menyusupi tidurnya, hingga pada suatu hari yang cerah, di mana burung-burung
bergegas ria ke ranting-ranting cuaca, pagi yang syahdu lebih tepatnya, di mana
dia sudah memutuskan untuk berdamai dengan pertanyaan-pertanyaan yang menggema
di kepalanya itu, ia memutuskan untuk tidak ikut serta dalam rencana perampokan
ini, namun kini ia malah kebingungan mencari alasan agar Surohman tidak marah, bisa-bisa
dia yang malah jadi korban pembunuhan, atau lebih parah jadi korban penjualan
organ.
⸙⸙⸙
Hari
perampokan telah tiba, rencana sudah disiapkan dengan matang, titik pertemuan
sudah ditentukan, namun ada satu hal yang mangganjal, adalah raut Sholeh yang
sedari tadi kelihatan cemas, tak berani dia membahas perihal dia yang tak ingin
ikut serta, mengingat Surohman juga membawa dua temannya (tentu saja tampilan
mereka semacam preman yang hobinya ngunyah orang-orang semacam Sholeh), dan kalau
pun dia memberanikan diri untuk bilang tidak ingin ikut aksi perampokan ini,
kemungkinan dia akan dibunuh juga presentasenya sudah meningkat dibandingkan sebelumnya.
“Hei
kau!” Ujar salah satu preman temannya Surohman
“Nanti
kita berdua masuk duluan!” Tak pernah ramah memang kalau mereka sedang bicara,
selalu berakhir dengan mata yang melotot atau dengan gertakan sangar.
Semakin
tak berkutik saja Sholeh dibuatnya, lubang sudah terlanjur digali untuk
mengubur diri sendiri, barangkali itu adalah istilah yang tepat untuk
situasinya kini, ikut terseret dalam
arus kebodohannya sendiri.
Jam
menunjukkan pukul setengah satu malam, waktu yang konon paling krusial untuk
melakukan hal semacam perampokan, akan sangat jarang kita menemukan kasus
perampokan yang dilakukan pada siang atau pagi hari, kecuali para rampok-rampok
berdasi, mereka memang cenderung tak punya muka, tiap hari cengengesan ngobral
janji di berbagai media.
Sholeh
dan salah satu preman tersebut masuk terlebih dahulu, sementara Surohman dan premannya
satu lagi menunggu di luar terlebih dahulu mengamati keadaan sekitar, setelah
suasana di luar aman, lekas mereka menyusul masuk ke dalam melalui jendela yang
sama, Surohman dan kawan-kawannya itu sudah sangat khatam dengan sudut-sudut
penyimpanan harta di rumah itu, yang bahkan Sholeh pun tidak tahu menahu,
lantaran takada satu pun yang memberikan informasi lengkap tentang denah rumah
itu kepadanya, sementara mereka semua beraksi, Sholeh hanya mengawasi saja.
Maka
sungguh ini tidak akan berujung baik-baik saja, pikirnya, di satu sisi
seseorang akan mengalami kerugian, di sisi yang lainnya ia sedang melakukan hal
yang dia percayai sebagai bentuk keadilan, tapi keadialn ini untuk siapa? Untuk
mereka rakyat jelata, atau hanya untuk memuaskan diri semata? Dan tanya-tanya
yang kembali menggema di kepalanya itu terhenti tatkala sejurus pukulan balok
mengayun tepat di kepalanya.
Pukulan
itu tidak datang dari para preman apalagi Surohman, ia murni datang dari si empunya
rumah yang secara tak sengaja mendengar suara semacam kasak-kusuk dari dalam
ruangan penyimpananya, si empunya tersebut memberanikan diri mengambil sebuah
balok kayu yang masih utuh dari tempat perapian, yang kita tahu balok itu
berujung di kepala Sholeh sekarang ini,
“MALING
KEPARAAT!” Teriak si empunya tersebut.
Dan
siapa sangka itu akan menjadi kalimat terakhir yang keluar dari mulut pejabat
tersebut, lantaran beberapa butir peluru ganas melesat ke arahnya, dari senjata
salah satu preman kawannya Surohman, dan tentu saja suasana menjadi tambah
panik dan genting, semua orang di rumah itu kini mungkin sudah terbangun, juga
tetangga, mengingat memang sangatlah keras suara beberapa tembakan tersebut
terdengar.
Surohman
dan kedua preman tersebut membenahi karung-karung yang berisi barang jarahan
mereka tersebut, lalu melarikan diri, dan sudah sangat jelas kalau mereka meninggalkan
Sholeh yang tergeletak tak sadar diri di samping jasad seorang pejabat yang
sedang meregang nyawa itu, seketika
keberadaan mereka bertiga hilang bagai di telan bumi dari tempat kejadian
tersebut.
Kini tinggallah Sholeh yang barangkali sudah mengalami geger otak lantaran
dipukul dengan begitu keras oleh si empunya rumah yang baru saja berubah
statusnya menjadi almarhum tersebut. Setelah beberapa menit berselang, situasi
sedikit agak berubah, karena kini hanya ada dia yang sudah sedikit siuman,
menatap berbagai macam kebencian di wajah-wajah para warga yang sedang
mengerumuni, dan juga keluarga yang sudah barang tentu sedang meraung tak
karuan di dekatnya itu, pandangan menjadi samar-samar dengan telinga masih
mendengung, ia melihat kearah jasad pejabat yang mati, dengan sosok perempuan
yang barangkali adalah istri dari pejabat tersebut, menunjuk-nunjuk ke arahnya
dengan tatapan yang marah; mata berkaca-kaca, sosok wanita tersebut seolah
sedang mengutuknya dengan seribu kata-kata kotor yang barangkali sudah sering
dia jumpai di pasar, namun yang dapat dia dengar hanyalah bunyi dengung yang semakin
menyakiti telinganya itu.
Saat
itulah dia sadar bahwa Surohman sudah menipunya habis-habisan, rupanya mereka
sudah jauh-jauh hari merencanakan dia sebagai wajah dari operasi tercela ini,
remuk sudah tulang belulangnya dihakimi warga sebelum ia diangkut kedalam mobil
pihak berwajib, bogem-bogem haus darah
terlebih dahulu menyarang di tubuhnya.
Mukanya sudah memar tak karuan, lebam-lebam biru di
sekujur tubuhnya mulai terasa nyeri, tatkala para pihak berwajib
menginterogasinya di kantor mereka, dengan berat hati dia harus menceritakan
segala akar perkara, di mana dia bukan wajah dari tindakan tercela yang satu
ini, melainkan dia dijebak oleh Surohman dan kedua premannya yang membantu,
semua hal itu berawal dari dendam masa lalu, di mana Surohman pernah ditipu
oleh pejabat tersebut, hingga kehidupannya melarat sampai sekarang ini, dan dia
hendak membalasnya.
Namun pihak berwajib tak lekas percaya dengan semua
cerita Sholeh tersebut, mereka meganggap dia sedang mebuat-buat cerita, setelah
melihat bukti dari cctv rumah pejabat tersebut, hanya sholehlah seorang diri
yang menyelinap kala itu, dan Surohman tak pernah benar-benar tercatat nama
bahkan datanya di dalam daftar penduduk kota itu, sementara Sholeh bersikeras
bahwa Surohman adalah kawan sekelasnya di sekolah menengah dulu.
Semakin bingung saja para pihak berwajib dengan semua
jawaban dari Sholeh yang terdengar sedikit gila itu, hingga mereka memutuskan
untuk mencari informasi tentang dirinya, dengan nama Jaka Surohman, baru mereka
mendapat informasi dan berita yang bertebaran di berbagai media dalam rentang
waktu beberapa tahun lalu, di mana semua data yang mereka dapat itu persis sama
seperti apa yang sedang diceritakannya itu, bahwa memang benar ada seorang anggota
dewan konglomerat yang kemudian hidupnya jadi melarat, lantaran tertangkap
basah memiliki bisnis gelap di berbagai kota, dan orang itu adalah dirinya
sendiri, karena memang takada Surohman lain di kota mereka selain dia, sedikit
janggal memang, namun inilah faktanya.
Semua menjadi jelas tatkala bukti sebuah revolver
ditunjukkan oleh mereka kepadanya,
“Ini punyamu bukan?” Ujar salah seorang inspektur dari
pihak berwajib itu.
“Bukan, itu milik preman sewaan Surohman,” ujarnya menolak
untuk mengaku.
“Lantas ceritakan kepada kami bagaimana ini bisa ada di dalam
saku celanamu?”
“Dan bagaimana caranya sidik jarimu bisa ada di sekujur
revolver itu?”
Sedang dia hanya cekikikan sembari mengulang-ngulang
kalimat, “Ini semua perbuatannya si Surohman, aku hanya orang yang putus asa!
Aku hanya orang yang putus asa!” Terus saja ia mengulang-ulang kalimat tersebut
di hadapan para penegak hukum yang kini mulai tahu segala kebenarannya itu.
Tamat
0 komentar: