Bucin ( Butala Cinta )
Aku menyemai cinta,
namun yang kutuai hanyalah luka.
Lalu aku menanam rasa,
tapi yang tumbuh hanya benih bunga derita.
Oh, tuan, mengapa cinta begitu kejam?
Menapa dia selalu membuahkan penderitaan?
•••
Sajak di atas yang saya tulis tiga tahun yang lalu itu memang terkesan identik dengan kata bucin, lebay, alay, dan sebangsanya.
Pun selama beberapa tahun saya menulis menghindari kata-kata yang seperti ini, karena ada yang beranggapan bahwa ini terlalu berlebihan; terlalu menghambakan diri kepada rindu yang tak bertuhan.
Ya, walaupun memang hidup itu tidak melulu soal cinta-cintaan. Tapi bagi saya yang ilmu tulis menulisnya masih sangat-sangat cetek, gara-gara pelabelan ini, kreativitas saya dalam meramu kata menjadi lebih pendek, setiap hari nulisnya cuma tentang pewangi buat gosok ketek, orang yang baca lama kelamaan juga bakalan capek.
Karena mau bagaimanapun bentuknya, karya sastra itu berhak merepresentasikan apa saja, termasuk di sini perasaan cinta penulisnya, pembaca memang berhak menilainya, tapi untuk melabelisasi, menurut saya tidak perlu, karena itu hanya akan menimbulkan sebuah stigma negatif di dalam dunia sastra, yang menjajah kemerdekaan kami para penulis pemula dalam meramu kata.
Mengutip kata orang yang sok bijak di bawah ini,
"Apapun bentuknya, kata tetap kata, ia punya sihir terhadap para pembacanya."
Jadi, rasanya tidak perlu menjustifikasi bahwa setiap karya sastra yang menyinggung soal cinta, di sangkut pautkan dengan label "Bucin" dan sebangsanya, karena dalam berkarya, kita semua MERDEKA.
⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀
•••
0 komentar: