Note:
“Sebelum membaca lebih lanjut, ada baiknya jika anda seorang penulis yang sudah pernah menerbitkan buku dan sudah pernah mengalami pembajakan ini, sekiranya berkenan untuk melepaskan sedikit tensi dan otot-otot diksi anda yang tegang ketika membaca celotehan saya di bawah ini”
About Us!- Jaman sudah semakin canggih dan buku yang dikemas dalam bentuk digital (e-book) sudah menjamur di mana-mana, ada yang asli ada pula yang bajakan, isinya terkadang sama, namun dampaknya seringkali saling bertolak belakang antara satu dengan yang lainnya, banyak hal perlu dipertimbangkan jika kita hendak membicarakan masalah yang satu ini, lantaran di dalamnya ada yang mencari sesuap nasi, ada pula yang dengan segala keegoisannya mencari hiburan demi kesenangan pribadi.
Saya sebenarnya sudah berulangkali membahas perihal betapa kejamnya dunia sastra di Indonesia tercinta ini, bukan hendak menjelek-jelekkan suatu pihak, namun memang ada benarnya bahwa dunia kepenulisan sudah sama sekali berbeda dengan jaman-jaman penulis terdahulu, atau dunia kepenulisannya tetap sama, namun kitanya saja yang tak permah mampu mengimbanginya?
Menulis sebuah buku dan menjadikannya mata pencaharian di negeri tercinta ini barangkali bukanlah pilihan yang bijak, kita semua tahu bahwa tidak mungkin mengubah suatu kaum kecuali mereka yang berusaha mengubahnya sendiri, seorang penulis tidak akan mampu membela hak cipta dari karyanya, jika karyanya tersebut dibajak oleh berjuta-juta orang yang bebeda, akan sangat sulit mencari biang keroknya dan memasukkannya ke penjara atau membayar denda, maka mengantungkan diri kepada sebuah karya, atau beberapa karya, rasanya adalah hal yang sangat mustahil di Indonesia.
Ya, kecuali jika anda memiliki segudang karya tulis yang lainnya, nama anda sudah tersohor seantero jagat, atau buku anda sudah mendunia semacam Andrea Hirata dengan buku Laskar Pelanginya, yang dibajakpun rasanya sedikit menggelitik, lantaran berbagai macam alasan yang dikemukakan oleh pembajak, namun yang paling sering kita dengar adalah alasan mencari nafkah, dan saya sendiri sedikit heran dengan hal ini, bagaimana mungkin seseorang mencari nafkah di atas nafkah orang yang lain.
Marah?
Tentu, siapa saja akan marah jika karyanya dijiplak, jangankan buku, sesederhana soal ujian saja kita juga akan berujung marah jika ada kawan kita yang terang-terangan mencontek pada lembaran jawaban kita, namun ia mendapatkan nilai yang lebih bagus, tentu saja itu menjengkelkan, nah, apalagi dengan buku, yang ditulis dengan segenap waktu pula daya pikir yang diperas sekering mungkin oleh para penulis di luar sana yang karya-karyanya berahir dalam bentuk imitasi.
Di artikel ini saya sebenarnya tidak ingin melarang para pembajak diluar sana yang bahkan juga ikut-ikutan mengaku mencari sesuap nasi dari hal ini, namun perlu diketahui bahwa dari awal, usaha yang sedang anda geluti itu sudah berada di jalur yang salah, maka takada gunanya bersikukuh bahwa anda juga berhak menuntut segala suatu pada karya tersebut.
Nah, berbicara masalah bajak-mambajak tadi, saya jadi tertarik untuk membahas kelakuan netizen baru-baru ini yang membagikan e-book melalui sosial media secara cuma-cuma, dan juga perlu diketahui, bahwa pembajakan e-book ini sebenarnya sudah berjalan cukup lama, hanya sekarang saja kembali mencuat lantaran ada segelintir orang yang merasa bahwa mumpung keadaan masih belum baik-baik saja, maka dengan embel-embel membantu, mereka melakukan hal-hal yang kurang membantu, [semisal membebaskan koruptor], niatnya sudah mulia memang, hanya cara dan sudut pandangnya saja yang kurang tepat.
Karena hal yang fenomenal ini, saya jadi melakukan riset kecil-kecilan berdasarkan pengalaman saya selaku penikmat buku dan e-book bajakan, saya menemukan bahwa ada beberapa hal yang membuat masyarakat lebih tertarik untuk membeli ataupun mengunduh karya-karya bajakan, meski dalam pengemasannnya bisa dikatakan sedikit agak kurang layak, baik dari segi tampilan buku, ataupun dari segi isi.
Saya pernah sekali waktu membeli buku fisik bajakan (iya, saya tahu itu salah memang, juga merugikan), perihal harga sebenarnya cukup murah untuk ukuran buku yang baru beberapa bulan terbit, di penerbit mayor lagi, saya menemukan buku tersebut persis seperti aslinya namun isinya discan manual dengan komputer, yang kemudian dicetak menjadi buku, (walaupun terkadang ada beberapa kata yang susah bahkan hilang ketika dibaca), lalu buku tersebut dipoles sedemikian rupa sehingga kalau diamati dari jauh buku tersebut terlihat persis seperti aslinya.
Alasan yang paling sering dikeluhkan oleh masyarakat jika mereka beralih ke buku ataupun e-book bajakan adalah karena harga buku fisik dan e-book yang asli harganya cenderung mahal, apalagi jika ada buku yang ditulis oleh seorang artis, pasti semakin gencar saja para penerbit sekarang (yang konon katanya sudah sedikit menganut ideologi kapitalis) memberikan harga yang fantastis terhadap buku tersebut, entah karena isinya yang sangat bagus, sampai-sampai jadi best-seller melebihi buku-buku baru para penulis senior yang sudah malang melintang di dunia kepenulisan, ataukah buku tersebut sudah terlanjur kebanyakan dicetak, sehingga penerbit takut rugi dan nggak balik modal, apalagi dengan harga dolar yang sekarang terus melonjak.
Ada yang beralasan bahwa e-book bajakan lebih mudah diakses lantaran jangkauan dan cakupannya lebih lengkap dan beragam, asalkan ada kouta semua buku bisa dicari dan diunduh secara cuma-cuma, buku-buku lama baik dalam maupun luar negeri yang barangkali sudah sangat langka kita lihat bertengger di toko-toko fisik (lantaran menjual buku artis lebih menguntungkan), maka buku-buku tersebut akan lebih mudah diakses dari situs-situs penyedia e-book bajakan ini.
Kemudian ada pula yang menuhankan minat baca demi membenarkan aktivitas yang satu ini, katanya dengan adanya buku-buku elektronik yang dapat diunduh dengan mudah itu, minat baca orang-orang semakin meningkat, dan dampaknya semakin banyak pula orang yang melek literasi. Lantas menurut saya, apa gunanya jika semua melek literasi, tapi perihal sesama takada satupun yang peduli?
“Jika membeli tidak mampu, maka pinjamlah!” Begitu kira-kira kalimat yang keluar dari mulut para penulis yang merasa dirugikan dengan adanya pembajakan ini, ya, mau bagaimana lagi, sifat orang-orang kita yang sering dijumpai adalah jika meminjam, maka sering menuntut hak milik; yang awal katanya pinjam tapi lama kelamaan malah jadi pajangan, pas ditanya langsung berkilah, “Itu hadiah dari kawan.”
Mungkin gara-gara ini juga orang-orang jadi malas meminjamkan buku kepada siapapun, apalagi jika orang yang dipinjamkan bukunya itu adalah orang yang kurang peduli, ujung-ujungnya buku jadi rusak, bahkan tidak dapat dibaca lagi, ya, walaupun kita tahu kalau buku itu memang seharusnya dibaca serusak mungkin, makin lecek makin bagus, bukan malah dipajang-pajang jadi cendera mata, atau diperlakukan serupa kitab suci, tapi setidaknya kalau dirawat nasibnya akan lebih baik, buku bisa digunakan dalam waktu yang lama.
Terakhir, mungkin ini semua terjadi, lagi-lagi merujuk kepada kebijakan dari pemerintah yang perlu dibenahi, hukuman penjara dan denda barangkali sudah kurang efektif, mungkin hukuman-hukuman yang dikenakan bagi para penyebar buku-buku bajakan ini bisa diganti dengan hukuman yang unik, seperti misal kalau mereka yang menjual buku bajakan fisik, mereka seharusnya bisa dihukum dengan memakan halaman-halaman buku bajakannya satu persatu, bayangkan saja kalau bukunya puluhan ribu lembar, pasti para pembajak buku itu akan menyesal dan kapok, ya, mungkin hanya ada segelintir saja orang yang doyan setiap harinya makan puluhan ribu halaman buku, dan melanjutkan praktik ilegalnya ini.
Atau juga ini semua terjadi lantaran pemerintah kurang mengangkat bidang literasi, seakan bidang ini kurang dipandang setara dengan kegiatan-kegiatan di dunia kesenian atau hiburan yang lainnya, pemerintah semestinya mengadakan lebih banyak program-program yang menggerakkan budaya literasi agar semakin berkembang, ya, meskipun tidak ada pengaruhnya yang signifikan terhadap pemberantasan pembajakan, tapi setidaknya para pembajak buku tersebut bisa menilai mana perkerjaan yang lebih menjanjikan antara membajak buku atau menjadi seorang penulis, yang kesejahteraannya sudah dijamin oleh penerbit dan juga pemerintah, huh, andai saja para penulis punya gaji tetap seperti halnya para pegawai negeri sipil, pasti karya-karya yang dihasilkan akan lebih bagus.
Tapi entahlah, banyak juga di luar sana yang berpendapat bahwa dengan kemiskinanlah orang dapat berkarya dengan bagus, dan kecukupan membuat kita bermalas-malasan. Tapi menurut saya, mereka yang setiap hari bergelut dengan kemiskinan tidak akan bertahan lama dan beralih ke arah yang lain, sedangkan jika mereka berkecukupan semestinya karya yang mereka hasilkan akan lebih bagus.
Kenapa?
Lantaran hidupnya bahagia dan sejahtera, kalaupun hendak membandingkan karya-karya pada masa sebelumnya yang hanya beiriskan kritik-kritik, (entah untuk siapa; pula siapa yang ingin membacanya) dengan karya-karya yang ia hasilkan pada masa hidupnya sejahtera, maka karya-karyanya itu akan keluar dari zona-zona pula tema-tema yang itu-itu saja, bahkan lebih beragam.
0 komentar: