“Karya yang buruk haruskah dibakar supaya tak ingat lagi?” Begitulah kira-kira pertanyaan seorang kerabat yang ingin mencoba peruntungannya di dunia tulis menulis. Saya hanya tersenyum ketika mendengar pertanyaan nyeleneh tersebut. Sebab bagi saya proses kreatif seseorang itu berbeda-beda. Tapi jujur, bagi saya pribadi membakar karya yang buruk adalah sebuah keharusan, sebab jika saya tidak bertindak demikian, maka saya hanya akan terus menerus berkutat dengan keburukan yang serupa.
Sebab, bisa dikatakan saya ini bukanlah orang yang leluasa berkreasi jika setiap waktu saya hanya berkutat dengan hal yang barangkali sudah rampung saya bicarakan pada karya saya sebelumnya. Sehingga seiring berjalannya waktu, saya bahkan memiliki prinsip bahwa karya yang buruk itu sebisa mungkin dibuang atau dibakar saja, sebab baik disengaja ataupun tidak, itu hanya akan mempengaruhi karya-karya selanjutnya. Tapi lambat laun saya juga mulai menyadari, bahwa tak selamanya begitu, karya-karya yang buruk pun suatu saat akan sangat dibutuhkan, baik itu untuk dikembangkan menjadi ide karya yang baru, ataupun untuk melengkapi karya selanjutnya.
Tapi sungguh, saya tidak menyarankan kepada siapa pun untuk membakar semua karya mereka yang kurang bagus, jika memang karya-karya tersebut dirasa akan dibutuhkan di kemudian hari, maka tidak ada salahnya jika kita menyimpan karya-karya tersebut. Tapi jika dengan adanya karya-karya yang buruk itu segala hal menjadi terhambat, dan kita tidak bisa melanjutkan tulisan kita, seolah-olah pikiran kita terkuras habis hanya untuk memperbaikinya, maka alangkah bijak, jika kita menjauhkan diri barang sejenak, atau membuang jauh-jauh karya kita, supaya tidak teringat sama sekali.
Pemahaman sederhananya mungkin begini, ketika kita menulis sajak yang buruk, atau sajak yang sama sekali tak memiliki unsur estetika di dalamnya, maka kita akan bekerja dua kali lebih keras untuk memolesnya hingga sajak tersebut menjadi sajak yang benar-benar indah, dan layak untuk dibaca. Namun, untuk memoles sajak yang buruk tersebut bukanlah perkara mudah, sebab, di sanalah diperlukannya kejelian kita sebagai seorang kreator untuk menilai mana calon karya yang memiliki potensi untuk menjadi bagus, dan mana karya yang tidak. Tujuannya adalah supaya kita tidak membuang-buang waktu untuk mengurusi hal yang hanya akan berujung sia-sia. Maka, pada tahapan inilah dapat dikatakan bahwa seorang penulis/penyair sedang bertaruh dengan nasib, juga usia yang mereka habiskan untuk berkarya.
Karena, dewasa ini, jika kita sebagai penulis/penyair pemula tidak melakukan suatu tahapan kurasi yang cukup ketat terhadap karya kita sendiri, maka dapat dipastikan jika semakin pesatnya kemajuan teknologi semakin tergerus pula keberadaan karya sastra yang baik. Oleh karena itu, kita sebagai penulis/penyair pemula harus lebih disiplin menyikapi karya-karya kita yang buruk.
Membakar karya yang buruk, barangkali adalah suatu istilah atau metafora yang saya buat-buat, supaya para penulis/penyair pemula seperti saya ini tidak terlalu tergesa-gesa dalam menerbitkan karya-karya mereka. Karena jujur, akhir-akhir ini saya juga kerap berpapasan dengan karya-karya yang sebenarnya masih memiliki banyak celah, baik dari segi penulisan maupun dari segi keberhasilannya sebagai karya sastra, bahkan ada beberapa karya yang terkesan belum rampung ditulis sama sekali.
Dalam tulisan ini, sebenarnya saya tidak bermaksud apa-apa, saya hanya ingin berprihatin saja dengan para penulis/penyair pemula seperti saya yang cenderung memiliki idealisme yang begitu tinggi, sehingga mereka kerap membanggakan karya-karya mereka, bahkan ada yang sampai gelap mata menganggap bahwa hanya karya merekalah yang layak untuk dianugerahkan berbagai macam penghargaan di bidang sastra, padahal tidak sama sekali. Maka melalui tulisan ini, saya hanya ingin menyarankan kepada para penulis/penyair pemula seperti saya untuk tidak berlaku congkak, dan membanggakan diri dengan karya yang belum seberapa.
Saya juga ingin sedikit menyinggung perihal mereka yang hanya mengandalkan instingnya saja ketika menulis, dan tak pernah membaca. Memang bukanlah suatu hal yang salah, tapi pengalaman menulis yang lama sejatinya juga tidak akan berguna bagi seorang penulis/penyair, jika mereka malas membaca. Sebab, jika kita tak pernah membaca, ujung-ujungnya semua tulisan kita hanya akan berkutat pada tema yang itu saja. Sungguh, ini hanya suatu kesia-siaan yang tidak perlu. Maka bacalah!
Terakhir, saya juga ingin mengingatkan kepada siapa saja yang hendak terjun di dunia tulis menulis, atau di dunia kreatif mana pun, agar bertindak seketat mungkin terhadap karya kita sendiri. Sebab, terlepas dari keniscayaan kita sebagai seorang kreator, kita juga harus berperan sebagai seorang penikmat atau pembaca yang bahkan bertolak belakang dengan pemikiran kita selama kita menciptakan karya. Maka kritiklah karya-karya sendiri, lalu perbaikilah!
0 komentar: