Jujur, dulu saya sempat berpikir bahwa menjadi penulis adalah hal yang
bisa dikatakan gampang, segampang membalikkan telapak tangan. Padahal pada
kenyataannya, itu adalah hal yang amatlah susah untuk dilakukan, semisal kita
ingin memanjat pohon kelapa tapi sambil kayang.
Pada awalnya saya memang menganggap remeh dunia kepenulisan ini, anggapan
saya dulu, "Ah, semua orang juga bisa menulis dan semua orang juga berhak
untuk menerbitkan karya." Tapi seiring berjalannya waktu, idealisme
semacam itu kian hari kian tergerus oleh berbagai macam kompromi yang
menyangkut dengan kelangsungan hidup.
Sebab kini saya mulai menyadari bahwa menulis dan menerbitkan karya adalah
hal yang sama sekali berbeda, meski keduanya saling berhubungan. Di mana proses
menulis bagi saya adalah perkara yang terbilang cukup mudah, terlepas dari baik
atau buruknya karya yang saya hasilkan. Namun untuk terbit, itu sudah menjamah
cakupan lain, di mana saya selaku penulis harus secara mandiri memilah-milah
(mengkurasi) karya-karya saya yang sekiranya layak untuk diterbitkan, sebelum
akhirnya dikirimkan ke penerbit incaran saya, dan itu pun belum tentu diterima.
Hingga berbagai macam upaya telah saya lakukan agar karya-karya saya
menjamah banyak pembaca, mulai dari mengunggahnya di media sosial, sampai
dengan mengirimkan karya saya ke media konvensional, seperti koran maupun
majalah sastra, tetapi tetap saja jidat saya selalu membentur meja-meja penolakan.
Namun perlahan, kini saya jadi lebih bijak dalam memaknai segala penolakan
tersebut, saya ingat dengan kata-kata seorang penyair kegemaran saya yang
mengatakan bahwa bukanlah hasil selamanya harus menjadi fokus utama seorang
penulis/penyair, melainkan proses, sebab hal itulah yang semestinya dinikmati.
Ya, saya juga menyadari bahwa selama saya mencoba menulis, baik itu cerpen
ataupun puisi, saya tidak pernah seasyik sekarang menikmati prosesnya, saya
hanya menginginkan karya-karya saya sesegera mungkin terbit dan dibukukan oleh
penerbit mana saja, seolah mendambakan sebuah proses yang teramat instan, saya
ingin buru-buru menerbitkan karya saya yang sebenarnya masih belum terlalu
matang, tapi, ya, namanya penulis pemula, keinginan-keinginan untuk mendapatkan
pengakuan tersebut masih tertanam di dalam benak saya kala itu, berbagai
keinginan tersebut sebenarnya juga tidak serta-merta timbul dari saya pribadi,
keluarga dan tuntutan ekonomi juga ikut memengang peranan penting dalam proses
kreatif saya.
Karena hal itu pula, saya jadi memiliki pandangan bahwa apapun yang saya
lakukan harus selalu menghasilkan uang, dan jika tidak demikian, maka apa saja
yang saya kerjakan adalah suatu kesia-siaan. Padahal tak selamanya begitu.
Sebab seiring berjalannya waktu, saya semakin yakin dengan prinsip bahwa "Esensi
dari menulis sejatinya terletak pada kenikmatan (proses) dan bukan pada
pendapatan." Seorang penulis yang bijak semestinya tidak memiliki
sifat kepamrihan, lantaran apa yang terkandung dalam setiap karya-karyanya
adalah niatan untuk berbagi, dan itu adalah hal yang patut dipresisasi.
Maka oleh karena itu, lambat laun penolakan-penolakan yang kerap saya tuai
tersebut kian menjadi pemicu diri saya untuk memperbaiki karya-karya saya ke
depannya, juga membentuk pola pikir saya untuk tidak selalu mengagung-agungkan
karya saya; untuk tidak berpikir bahwa hanya karya saya yang bagus, dan jika
ada yang tidak menyukainya, barangkali hanya daya pikir mereka saja yang masih
di bawah rata-rata.
Hal tersebut tentunya berbanding terbalik dengan pemahaman saya kala itu,
saya begitu mengagung-agungkan profesi saya sebagai seorang penyair (meski
gadungan), dan dengan angkuhnya berkata kalau jobdesk seorang
penulis/penyair adalah untuk menciptakan, sedangkan menyangkut dengan kerapihan
dan kaidah penulisan itu sepenuhnya tanggung jawab editor bahkan penerbit.
Pandangan itulah yang kemudian terasa begitu kontras dengan hal yang
belakangan saya ketahui, bahwa setiap penulis/penyair —selain peranannya untuk menciptakan— juga harus turut andil dalam
menyunting dan membenarkan apa yang sudah mereka tulis, sebab tulisan-tulisan
yang sudah berulang kali diperiksa saja masih ada kemungkinan memiliki
kesalahan pengetikan (typo), apalagi tulisan-tulisan yang tidak
diperiksa sama sekali. Maka, dengan alasan atau pembenaran apa pun, tetap saja,
menyunting dan memeriksa karya sendiri adalah suatu keniscayaan bagi seorang
penulis/penyair, baik itu pemula atau yang sudah lebih dahulu terjun di dunia
sastra.
Terakhir saya juga ingin mengatakan
bahwa saya pribadi cenderung percaya dengan prinsip bahwa dalam menulis atau
berpuisi bahasa yang digunakan boleh tinggi, tapi hati tetap saja harus rendah,
dan saya juga menyadari bahwa seorang penyair itu dibedakan dari sajak dan
pemikiran yang ia hasilkan, jika tidak demikian, maka selebihnya ia hanya
manusia biasa yang melakukan aktivitas sehari-hari semisal berkebun, tidur,
makan, dan sebagainya. Tak ada yang istimewa.
0 komentar: